Saturday, October 20, 2012

Mengingat kematian

0


Tepat satu minggu yang lalu, 13 Oktober 2012, beberapa saat setelah waktu Maghrib, merupakan masa terakhir Nde’ (panggilan untuk Kakak dari Ibu, sepertinya diadaptasi dari Pakde) merasakan kehidupan fana dunia. Beliau wafat di usia sekitar 58 tahun, dengan meninggalkan seorang istri, seorang anak laki-laki, dan tiga orang anak perempuan. Beliau meninggal di rumah sakit, disaksikan oleh begitu banyak sanak family, bahkan anak dan cucu dari Kakek-Nenek saya yang banyak, hanya ada 1 orang cucu Kakek-Nenek yang tidak dapat melihat Nde terakhir kali.
Kematian adalah sebuah kepastian yang tak tertolak. Ini berlaku untuk saya, kamu, dia, mereka, kalian, yah kita semua. Hanya masalah waktu, kan? Kita tidak tau siapa yang akan menghadap Allah lebih dulu. Tua tak jadi jaminan akan berpulang duluan, karena yang muda pun banyak yang mendahului para tetua. Sehat tak jadi garansi hidup masih lama, karena yang sakit berpuluh tahun pun banyak yang didahului oleh yang hidupnya sehat. Waktu kematian adalah rahasia Allah yang terjaga.
Kematian orang lain yang meninggal selagi kita masih diberi kesempatan hidup adalah sebuah alarm, pengingat bahwa kita juga akan berpulang. Pulang ke kampung halaman, semua orang ingin bawa bekal banyak untuk sanak-keluarganya, maka begitu pula seharusnya setiap orang yang berpulang pada Tuhannya, ke tempat asal manusia itu terbuat. Maka, sudah sejauh mana persiapan kita? Sudah cukupkah bekal kita? Padahal kita bisa pulang kapan saja, entah setelah memiliki cucu, atau ketika baru memiliki anak satu, atau kapan tepatnya. Jadi, kapan kita akan bersiap?
Saat ada ajakan mencoba ini-itu, kesana-kemari, bersenang-senang dengan berbagai alasan, sesungguhnya orang yang diajak dan tidak mau itu bukan berarti tak mau bersenang-senang, bukan kelewat serius berpikir. Tapi orang itu mungkin tak ingin, saat Malaikat izrail menunaikan tugasnya, orang itu di tempat keramaian yang tidak memiliki nilai manfaat untuk masa hidupnya di akhirat. Orang itu juga tak mau, kalau kontrak hidupnya itu habis, disaat dia sedang melakukan kegiatan yang tak menambah berat timbangan amal baiknya di hari perhitungan amal, kelak. Orang itu juga tak sanggup, untuk membayangkan betapa dia akan kerepotan menjawab pertanyaan malaikat di dalam kubur nanti, jika kelak ibadahnya, amal, ilmunya tak cukup.
Setiap kematian, hendaknya mengingatkan kita..bahwa setiap pekerjaan yang kita lakukan akan dipertanggung jawabkan, ditanyakan lah nanti
untuk apa titipan rizki dari Allah digunakan? untuk kemanfaatan atau pemuas keinginan duniawi semata
apakah setiap bagian jasad ini diberi makan dengan sumber yang halal ataukah haram?
apakah waktu yang diberikan oleh Allah semasa hidup digunakan untuk amalan yang baik, atau yang buruk? untuk yang berpahala, ataukah berdosa? untuk yang bermanfaat, ataukah bahaya?
Kematian juga pengingat.. bahwa seramai dan hingar-bingar apapun kehidupan kita di dunia, lihatlah… dikubur, kita hanya sendiri. Menjawab pertanyaan malaikat kubur hanya ditemani keimanan dan amal.
Mengingat mati adalah mengambil pelajaran, bahwa hakikatnya hidup hanya perlu kata ‘cukup’, bukan lebih. Tak perlulah bermewah dalam hidup kalau tujuannya untuk pemuas, karena sejatinya yang dibutuhkan diri hanya cukup. Semegah apapun rumah di dunia, rumah yang kekal ternyata hanya ‘cukup untuk berbaring satu badan’ saja.
_____
ditulis oleh saya, yang juga masih harus banyak berbekal

0 komentar:

Post a Comment