Bandung, 13 Juli 2013
Allah lah yang memalingkan, membolak-balik hati manusia. Begitu pun hati saya, hingga akhirnya tulisan ini dapat dibuat. Karena jika saya memantapkan pilihan 3,5 tahun yang lalu, tulisan ini tentunya akan berisi kalimat yang berbeda dan diwaktu yang berbeda :)
Hari ini, pagi hingga siang tadi, saya baru saja melalui prosesi sidang terbuka wisuda sarjana di Sabuga. Yup, Alhamdulillah, atas pertolongan dan rahmat Allah subhanahu wa ta'ala, saya merasakan diwisuda, lulus dari ITB 'melalui' Sabuga. Setelah waktu TPB dulu, setiap ada prosesi wisuda, saya dan teman-teman kadang berceloteh "kita juga nanti keluar dari ITB dari sabuga, jangan dari annex ya".
Dan wisuda ini, salah satunya adalah hasil dari pembalikan hati.
Sekitar 3,5 tahun yang lalu, saya menerima indeks prestasi belajar saya yang pertama di ITB. Hasilnya? Bagi saya, tidak memuaskan.
Setelah lama berpikir, dilatarbelakangi perasaan 'gak klop' dengan kuliah yang dijalani, ketidakyakinan bisa bertahan dan memperbaiki keadaan, masih penasaran dengan jurusan-jurusan lain yang saya minati tapi tidak saya ambil saat memilih ITB, dan beberapa alasan lain saya akhirnya memberanikan diri berkata pada Ibu dan Bapak, "Pak, Bu, teteh mau pindah kuliah.."
Belum selesai kalimat saya saat itu, Ibu memotong, "bukannya dulu teteh yang mantap pilih kuliah di bandung daripada di jogja?". Saya bisa menebak kemana arah kalimat Ibu dan Bapak saat itu, saya yakin bukan marah yang akan saya terima, tapi pertanyaan-pertanyaan. Yang ditanyakan Bapak pertama saat itu, "apa teteh yakin kalau pindah kuliah bisa jadi lebih baik? apa teteh bisa menjamin diri teteh sendiri bakal survive dan nyaman, apa yang bisa Bapak pegang untuk jaminan janji teteh?". Ah, dua pertanyaan itu, pertanyaan yang sudah terpikirkan tapi tak mampu saya jawab selama memikirkan ini. Saya ingat, tidak ada jawaban yang saya buat, hanya sajadah dan mushaf Bapak yang bersaksi bisu di mushola saat itu. Melihat saya diam dengan lisan kelu, Bapak akhirnya berpesan, "lanjutin lagi aja istikhorohnya".
Beberapa hari kemudian Bapak mengajak saya makan di teras rumah. Saya tau, ada hal penting yang Bapak ingin bicarakan dengan gaya yang dibuat santai sambil makan siang ini. Saya tidak berani memulai percakapan, lalu Bapak memulainya.
"teh, yakin gak ngerasa rugi kalau pindah kuliah? Bukan biaya yang Bapak-Ibu permasalahin, karena sebagai orangtua, ngeliat anak ngejalanin apa yang gak disukain itu rasanya perih. Uang itu bisa dicari, rizki Allah luas. Bukan juga waktu kamu yang bakalan satu tahun seolah mengulang kuliah. Tapi Bapak sama Ibu yakin, teteh cukup kuat untuk bisa beradaptasi, karena selama ini juga teteh bisa menyelesaikan masalah-masalah teteh dengan baik"
saya menghela nafas, menunggu kalimat Bapak berikutnya.
"Bapak sama Ibu gak menuntut aa-teteh-Dinda jadi juara kelas, IP luar biasa, lulus cumlaude, dan hal duniawi lainnya. Bapak cuma yakin, setiap ilmu itu bermanfaat kalau benar dan diamalkan. Anak-anak Bapak itu sudah cumlaude dihati Bapak, selalu. Yakin sama ikhlas aja, benerin niatnya untuk dapat ilmu, terus ilmunya bermanfaat, berapapun nilai dunia nya. Yang Bapak gak rela itu kalau kalian berilmu tapi jauh dari agama, lalu durhaka dan memberatkan siksa atas tanggungjawab Ibu Bapak waktu kiamat. Hasil istikhoroh Bapak, kamu lanjutin aja kuliahnya, niatkan selalu untuk ikhlas, nanti Allah kasih balasan untuk keikhlasannya"
Anak-anak Bapak itu sudah cumlaude dihati Bapak, selalu.
Bapak berhenti sejenak, lalu meneruskan,
"Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa menempuh jalan mencari ilmu, Allah akan memudahkan jalannya ke surga. Dimanapun menuntut ilmunya, kalau bermanfaat dan benar, gak melupakan belajar ilmu agama, dan gak membuat kita berpaling dari agama Allah, insya Allah ada kemuliaan disisi Allah"
Wacana pindah kuliah itu berhenti sampai disitu. Kata-kata "Anak-anak Bapak itu sudah cumlaude dihati Bapak, selalu" dan hadits yang disampaikan Bapak saat itu yang memalingkan hati saya dari kecondongan pindah kuliah jadi melanjutkan. Dan hari ini, saya sangat bersyukur pernah mengalami hari-hari itu, hingga mendapatkan kalimat super dari Bapak. Alhamdulillahi robbil 'alamiin, berbekal ridho Allah dan ridho orangtua, tugas belajar sarjana purna sudah. Apakabar nilai saya? Ya, kadang sangat baik, kadang baik, dan kadang cukup. Allah Maha Tahu, karena mungkin saya belum cukup tangguh untuk mendapat ujian atau kenikmatan nilai luar biasa, maka saya diuji dan diajarkan merasakan nilai istimewa hingga biasa-biasa saja, tanpa pernah gak lulus suatu mata kuliah. Setidaknya, dengan memilih 'menetap' di kampus ini, saya bertemu dengan keluarga-keluarga baru: Teman-teman kosan, teman-teman MG'09, keluarga IMMG, teman-teman keluarga PM KM, kerabat plurker, teman-teman MTQ, teman-teman muslim-muslimah, serta banyak orang lain yang memberikan inspirasi dengan terlebih dahulu menjadikan ilmu yang ada pada mereka bermanfaat.
Dan kalimat Bapak itu, akhirnya kembali Bapak ucapkan saat memberikan sambutan mewakili orangtua mahasiswa pada acara syukuran wisuda Teknik Metalurgi Juli 2013 "Anak saya tidak cumlaude, tapi Dini selalu cumlaude di hati Bapak.." ahaha, pastilah airmata saya meleleh saat itu kalau gak ditahan. Saya tidak tau Bapak ingat atau tidak bahwa beliau pernah mengucapkan semua ini, tapi catatan ini menunjukkannya begitu.
duhai Allah Yang Maha Pengasih dan Pemberi Kasih, Yang Membolak-balik hati manusia, mantapkan hati kami untuk selalu berjalan pada agama-Mu, dan jadikan semua ini bermanfaat. Sayangilah kedua orangtua kami, ampuni dosa keduanya, sebagaimana keduanya mengasihi dan mendidik kami diwaktu kecil
*tulisan ini dipindahkan dari catatan pribadi, di post pada 12 September 2013