Kemarin pagi, sebuah page di facebook yang khusus memuat perkataan para ulama, membuat post berikut:
المؤمن دائماً مطمئن القلب ساكن النفس يرى بنور بصيرته أن الدنيا دار إمتحان و بلاء و أنها ممر لا مقر ، و أنها ضيافة مؤقتة شرها زائل و خيرها زائل ..
و أن الصابر فيها هو الكاسب و الشاكر هو الغالب ..
pengetahuan saya tentang bahasa arab yang minim dan terbatas menuntun saya pada pemahaman kalimat tersebut seperti ini:
"mukmin itu selalu menenangkan hati, menentramkan diri, melihat dengan wawasannya bahwa dunia merupakan ladang ujian dan cobaan yang tidak kekal, ______ kebaikannya sementara dan keburukannya sementara. sesungguhnya orang yang bersabar dia(akan) berhasil (hasil) dan orang yang bersyukur dia (akan) menang."
bagian yang saya kosongkan dengan tanda garis bawah itu bagian yang saya gak tau artinya apa. Suka dengan arti (berdasarkan apa yg saya artikan diatas) dari kalimat tersebut, saya membagi (share) status Facebook Page tersebut di halaman profile facebook saya. Sambil share, saya tambahkan ini:
"mukmin itu menenangkan hati, menentramkan diri, melihat segala sesuatu dengan wawasan.."
beberapa waktu berselang, kemudian datang komentar dari Abu Fatih (alias ka Ragil) yang -singkat cerita- memberi tahu saya bahwa ada yang salah dengan apa yang saya artikan. Disitu saya sadar, bahwa mengartikan sesuatu memang perlu i'rab, minimal kita memperhatikan posisi/fungsi kata tersebut dalam kalimat sebagai apa. dan saya menyadari.. kekeliruan arti versi saya yang paling jauh itu ada di bagian awal kalimat. Hahaha..
Sambil pergi sarapan, saya berfikir. Saya menertwai kebodohan saya sendiri, saat SMA dulu. Waktu SMA, saya berkesempatan belajar bahasa arab, belajar nahwu-shorof, tapi tanpa 'nyawa' yang penuh. Nyawa yg saya maksud adalah 'effort' dalam belajar. Usaha yang saya lakukan dalam belajar bahasa arab sewaktu SMA hanya sebatas lulus ujian, gak kena remedial, dan targetan lainnya tanpa mengarah pada peningkatan kemampuan. Selesai SMA, tiba-tiba tertohok oleh sebuah kesadaran bahwa Bahasa Arab adalah salah satu bahasa yang akan sangat saya butuhkan. Dan perasaan 'tertohok' itu semakin menjadi manakala orang-orang disekitar saya berpikir saya lulusan pesantren (padahal, SMA saya sungguh jauh dari ciri pesantren dan tidak pernah diakui DEPAG sebagai pesantren) yang pernah belajar dan hidup dengan bahasa arab, maka -mau tak mau- bisa berbahasa arab. Sayangnya, seperti kata pepatah.. "penyesalan itu datang belakangan". Begitu pula yang terjadi pada saya, menyesali kesempatan belajar yang pernah diberikan oleh Allah kepada saya tapi tak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Setelah sarapan, saya pulang ke Tangerang (dari Bandung) dan mengurungkan niat membalas komentar di status tersebut, dengan tujuan hemat baterai HP selama di perjalanan. Sampai pagi ini, saya baru membuka kembali status tersebut dengan tujuan membalas komentar, dan ternyata ada komentar dari Dihya, yang menerjemahkan kalimat yang ada di status saya:
"mu'min itu senantiasa tenang hatinya, selalu melihat dengan cahaya ilmunya bahwasanya dunia adalah tempat ujian dan cobaan. Ia akan berlalu dan tidak kekal. Dunia meruyapakan persinggahan yg telah ditetapkan waktunya. Kebaikan maupun keburukan di dalamnya akan sirna. Orang yang sabar dalam kehidupan dunia adalah orang yang senantiasa berusaha dan orang yang senantiasa bersyukur lah yang mendapat kemenangan."
Tuh, kaan.. arti kalimat tersebut beda jauh dari versi saya. Cambuk nih, buat belajar bahasa arab lagi, kali ini dengan effort yang mumpuni: Belajar lah karena Allah, lillahi ta'ala.
Saya bersyukur, diberi teman-teman yang cerdas dan berpengetahuan, sekaligus saling mengingatkan dan menasehati dalam kebaikan. Alhamdulillah ^^