Pada sebuah perjalanan dari rumah menuju pool bus AKAP, di dalam angkutan kota..
Empat orang remaja tanggung sekitar usia awal belasan mengobrol dengan asyik di angkutan tersebut. Mobil angkutan yang saat itu lengang membuat mereka leluasa mengobrol dengan suara nyaring. Suara senyaring itu cukup untuk membuat penumpang lain di dalam angkutan bisa mendengar apa yang mereka bicarakan tanpa perlu mencuri dengar. Mulanya, tak ada yang menarik dari percakapan mereka karena topik yang dibicarakan hanya seputar rencana jalan-jalan di pusat perbelanjaan, menonton film layar lebar, dan seputar tempat keramaian lain. Hingga akhirnya, kalimat-kalimat berikut terucap,
A: "Iya, males banget sama nyokap gue, pelitnya minta ampun. Gue minta uang buat beli sepatu gak dikasih"
B: "Emang mau beli sepatu apaan, lo?"
A: "Sepatu basket lah, kemaren gue liat di toko X, mall Y, ada keluaran sepatu basket baru"
C: "Emang lo bisa main basket?"
A: "Belom bisa, sih, tapi udah ga jaman lah sekolah pake sepatu keds. Cuma 700 ribu doang gitu"
D: "Iya, nyokap-bokap gue juga pelit, masa tadi gue mau brangkat nonton cuma dikasih 70ribu"
___
Uang-uang itu, adalah nominal yang besar bagi para pekerja keras. Sejumlah uang yang mereka awali dengan kata 'cuma' itu, bagi orang yang bekerja mengumpulkan pundi-pundi rupiah tentulah bukan sekedar cuma. Para pekerja tau, betapa berharganya sepuluhribu rupiah. Orang yang berusaha membanting tulang mencari penghidupan tau, bagaimana sulitnya menggenapkan uang 'receh' menjadi seribu.
Tapi bagi orang yang tak merasakan kerja keras untuk mengisi perut agar tetap hidup, nominal itu tidak bermakna selain untuk habis dalam transaksi. Bagi orang-orang yang hanya perlu meminta dan menyebutkan jumlah yang diinginkan, uang dengan jumlah tersebut begitu kecil untuk segera ditukar dengan kepuasan.
Dik, yang dilakukan orangtuamu bukanlah sikap pelit terhadap buah hatinya. Kalaulah bisa, orangtuamu tentu ingin memenuhi semua yang kau pinta. Tapi mungkin, saat kau meminta sejumlah uang itu, Ibumu sedang berpikir, bagaimana agar uang yang diberi ayah untuk hidup sehari-hari ini cukup. Ibumu mungkin saat itu sedang berpikir, bagaimana caranya agar keluarga ini bisa tetap makan besok, besoknya lagi, dan hingga uang halal lain datang lagi. Ibumu saat kau meminta uang itu, mungkin sedang berpikir, dimana keluarga ini akan tinggal jika besok tak bisa membayar kontrak rumah. Ibumu ketika itu sedang berfikir bagaiman aagar baiya sekolah tetap bisa dibayar, dan agar uang sakumu tetap ada.
Dik, sekalipun orangtuamu mampu memenuhi semua yang kau pinta. Percayalah, kata tidakboleh itu bukan karena pelit. Tidakboleh itu ada karena kedua orangtuamu ingin kau belajar, bahwa tak semua yang diinginkan dapat dicapai. Tapi Tuhan akan memberi apa yang dibutuhkan hamba-Nya, maka orangtuamu mendidikmu dengan menolak keinginan yang tak berdasar kebutuhan. Kedua orangtuamu bukan ingin berlaku seperti Tuhan, tapi mereka menyadari bahwa anak adalah titipan, amanah dari Tuhan yang ketika dikembalikan tentunya harus dalam keadaan sebaik mungkin. Ayah dan Ibu, menyayangimu dengan menghindarkanmu dari ketidak-manfaatan peringai dunia.
Dik, saat orangtuamu bertemu dengan teman-teman mereka, kadang mereka membicarakan kita, anaknya. Apa yang saling mereka ceritakan tentang anak-anaknya? Kebaikan dari masing-masing anak. "Anak saya si A sekarang alhamdulillah sudah SMA, di sekolah B". "Anak saya kemarin Alhamdulillah sudah lancar membaca". "Anak saya yang besar sekarang alhamdulillah sudah bekerja". Lihatlah, pantaskah kita membalas penuturan manis mengenai diri kita itu dengan mengata-ngatai mereka di tempat umum dengan sebutan yang tak baik? Pelit, galak, gak ngerti kebutuhan anak muda, kolot, kuno, pantaskah ditujukan kepada mereka?
Saat kita-yang merasa muda- ingin di mengerti, lalu kapan kita akan belajar memahami mereka? Padahal usia mereka semakin senja, dengan kondisi fisik yang tak seprima di masa muda, dan penyakit-penyakit tua mungkin mulai menghampiri keduanya. Begitukah cara kita membalas jasanya?